Terkini

Junta Militer Myanmar Manfaatkan Gempa Dahsyat untuk Kembali Merebut Kendali di Tengah Perang Saudara

0
(0)

Faktain.com, Internasional – Dalam situasi yang makin genting, junta militer Myanmar terlihat memanfaatkan bencana alam sebagai peluang untuk mengukuhkan kembali kekuasaannya di tengah konflik internal yang telah lama melanda negeri ini. Gempa berkekuatan 7,7 skala Richter, yang mengguncang Myanmar dua minggu lalu—salah satu gempa terkuat dalam seabad terakhir—menimpa negara yang sudah hancur oleh perang saudara brutal yang memaksa jutaan warga mengungsi dan menghancurkan ekonomi.

Menurut data resmi, jumlah korban jiwa dari gempa tersebut telah mencapai 3.471 orang per hari Minggu, dengan ribuan lainnya terluka atau hilang. Model prediktif dari US Geological Survey bahkan memperkirakan jumlah korban akhir bisa melebihi 10.000 jiwa, sementara kerugian ekonomi diprediksi akan melampaui Produk Domestik Bruto tahunan Myanmar yang pada tahun 2023 mencapai sekitar 66,8 miliar dolar AS.

Tak butuh waktu lama setelah gempa terjadi, junta militer langsung mengumumkan keadaan darurat di kota-kota yang paling terdampak dan meminta bantuan internasional. Langkah ini kontras dengan respons junta pasca Cyclone Nargis pada tahun 2008, ketika bantuan internasional awalnya ditolak hingga akhirnya mengakibatkan korban jiwa yang mencapai lebih dari 84.000 orang dan puluhan ribu hilang. Perubahan sikap yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai “tidak biasa” sempat menimbulkan secercah harapan akan kemungkinan terjadinya pembicaraan damai antara junta dan kelompok perlawanan.

Baca Juga:  Fungsi Tinta Biru Setelah Nyoblos Di TPS itu apasih?

Namun, para analis mengungkapkan bahwa peluang untuk terciptanya gencatan senjata yang langgeng sangat tipis. “Garis pertempuran sudah terlalu dalam, dan hampir tidak ada titik temu antara junta dan kelompok oposisi, termasuk kelompok bersenjata etnis yang tengah berperang, untuk melakukan dialog yang bermakna,” ujar Angshuman Choudhury, analis kebijakan luar negeri yang berbasis di Singapura.

Tak heran, junta militer tampak menggunakan kekacauan pasca-gempa sebagai kesempatan untuk mereduksi kemampuan perlawanan dan mendapatkan keunggulan di medan perang. Meski junta sempat mengumumkan gencatan senjata selama 20 hari—berakhir pada 22 April—untuk mendukung upaya kemanusiaan, para pengamat tetap pesimis. Gencatan tersebut dipandang hanya bersifat sementara dan rentan dilanggar, seiring ketegangan yang terus meningkat di lapangan.

Di balik kebijakan tersebut, respons junta dinilai lebih mengutamakan kemenangan militer daripada penanganan bencana. Beberapa laporan dari Amnesty International menyebutkan bahwa sebelum pengumuman gencatan senjata, militer terus melakukan serangan udara di daerah terdampak gempa. Tak hanya itu, pasukan junta juga diduga sengaja menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah yang dikuasai kelompok anti-pemerintah, bahkan sempat menembakkan peluru peringatan kepada konvoi Palang Merah Cina yang gagal mematuhi perintah untuk berhenti di zona konflik.

Krisis kemanusiaan yang semakin dalam ini semakin diperparah oleh kondisi politik Myanmar yang sudah lama tidak stabil sejak kudeta militer pada 2021, yang menggulingkan pemerintahan terpilih dan memicu perang saudara multi-front. Joshua Kurlantzick, senior fellow di Council on Foreign Relations, menilai bahwa respons bencana yang buruk ini hanya akan meningkatkan kemarahan publik terhadap junta, sementara oposisi akan mendapatkan dukungan baru dari rakyat yang kecewa dengan ketidakmampuan pemerintahan militer.

Baca Juga:  SAH! UMP/UMK 2025 Naik 6,5%, Sejahterakan Buruh

Di sisi diplomatik, gempa ini justru membuka celah bagi junta untuk memperbaiki citra di mata negara tetangga. Dalam kunjungan yang jarang terjadi pasca-bencana, pemimpin junta Min Aung Hlaing disambut hangat oleh pejabat tinggi Thailand di Bangkok. Pertemuan dengan perdana menteri Thailand dan Perdana Menteri India Narendra Modi untuk membahas upaya rehabilitasi pasca-gempa menjadi bukti bahwa junta berupaya mengukir kembali legitimasi diplomatiknya. Cina juga termasuk salah satu negara yang cepat mengirim bantuan, dengan menyumbangkan pasokan senilai 100 juta yuan (sekitar 13,7 juta dolar AS), sementara AS memberikan sumbangan yang jauh lebih kecil, yakni sekitar 9 juta dolar AS.

Meski ada gencatan senjata sementara dan sejumlah langkah diplomatik, para ahli tetap pesimis bahwa gempa ini tidak akan membuka ruang politik yang cukup untuk mencapai kesepakatan damai. Junta militer, dengan segala kekuatan dan serangan udara yang terus berlanjut, tampaknya lebih fokus untuk menghancurkan perlawanan daripada memberikan bantuan yang tulus kepada rakyat yang menderita. Di tengah derita dan kekacauan yang melanda, rakyat Myanmar terus bertahan dalam kondisi yang semakin memburuk—sebuah situasi yang, dengan segala ironi, menunjukkan betapa bencana alam bisa menjadi alat politik yang menyakitkan.


Eksplorasi konten lain dari Faktain.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

ALFIE RENALDY

Content Manager at Faktain.com

Baca Informasi Lainnya

Post navigation

Tinggalkan Komentar

Kasih Komentar

Eksplorasi konten lain dari Faktain.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca